Gadis cilik itu terbaring di depanku. Tubuhnya kadang tersentak, meliuk dengan kedua tangan terkepal. Kadang pula diam kaku. Wajahnya nampak pucat. Matanya terpejam. Aku melihatnya dengan perasaan yang tak terucapkan. Penderitaan, pikirku, apakah itu? Rasa sakit, bagaimanakah mengatakannya? Kesedihan, saat itu perlukah? Tiba-tiba aku berpikir, jika kita merasa kecewa dan terluka saat ini, jika kita merasa bahwa mengakhiri hidup kita adalah solusinya, cobalah untuk mengunjungi sebuah Rumah Sakit. Dan saksikanlah tubuh-tubuh yang meregang tak berdaya. Tubuh-tubuh yang bertarung untuk hidup. Batas tipis antara kematian dan kehidupan terbayang jelas di sini. Lalu pikirkanlah, makna perjuangan untuk bertahan tetap hidup yang nampak jelas di ruang ICU sebuah Rumah Sakit. Masihkah kita merasa sama?
Sungguh, keberadaanku di ruang ICU telah membukakan mataku agar berjuang agar bisa tetap bertahan untuk hidup. Perjuangan yang melelahkan ini ternyata dipenuhi banyak hikmat. Bahwa keberadaan kita di dunia ini bukan sekedar untuk ada dan bisa menikmati apa yang ada. Tetapi lebih daripada itu, keberadaan kita di dunia ini berarti kesempatan untuk bisa bermanfaat. Kesempatan untuk menghargai dan kesempatan untuk mengisi keberadaan kita dengan sebuah perjuangan. Apapun hasil dari perjuangan itu, tidaklah terlalu perlu disesalkan dan bahkan tidaklah sepenting yang kita pikirkan sendiri. Karena yang berharga adalah perjuangan itu sendiri. Ya, perjuangan itu sendiri.
Menangislah jika ingin. Kecewalah jika mau. Merasa pilu dan sakitlah jika ada gunanya. Tetapi jangan pernah putus asa dan melarikan diri dari kenyataan yang sedang kau alami. Hidup, ya hidup tidaklah sesederhana yang kita pikirkan. Juga tidak seruwet yang kita bayangkan. Hidup kita tergantung pada bagaimana kita memandang diri dan kondisi sekitar kita. Hidup kita, benar-benar tergantung pada bagaimana cara kita memikirkannya. Maka apa gunanya kekecewaan, rasa sakit dan kehancuran yang kita alami saat ini di masa depan nanti? Ya, apalah artinya masa sekarang di masa yang akan datang nanti? Masa datang yang masih teramat panjang dimana kita dituntut untuk bertanggung jawab menjalaninya.
Gadis cilik yang terbaring di ruang ICU itu telah memperlihatkan suatu perjuangan untuk tetap bertahan dalam kesesakan dan kesengsaraannya. Rasa sakit dan kerapuhan tubuhnya yang hanya bisa dialaminya sendiri secara pribadi. Dan saat aku berdiri di samping ranjangnya, aku hanya bisa membayangkan tanpa mampu larut ke dalam penderitaan itu sendiri. Kita lahir seorang diri, kita hidup dan berjuang beralaskan kesendirian kita, dan kelak kita akan menghadapi akhir mutlak sendirian sebagai suatu pribadi yang tunggal. Itu adalah sebuah jalur tunggal dan karena sudah jelas dan nyata, tidaklah terlalu penting lagi untuk dikhawatirkan. Yang dituntut dari diri kita adalah bagaimana kita berjuang dan mengisi sepenggal riwayat keberadaan kita di dunia secara baik, benar dan layak.
Di seputarku terbaringlah tubuh-tubuh lemah, tak berdaya dengan berbagai macam peralatan dan selang-selang infus yang memasuki daging tubuh-tubuh itu agar bisa tetap bertahan untuk ada dan berada di kehidupan ini. Pantas atau tidak, saat itu yang kulihat bukan hanya daging tubuh tetapi bentuk-bentuk perjuangan jiwa untuk melawan atau pasrah menerima apa yang ada. Maka jika daging kita tergantung pada peralatan canggih untuk memperpanjang waktu keberadaan kita, bagaimana dengan jiwa, pemikiran dan perasaan kita sendiri saat itu? Bagaimana dengan harapan dan semangat untuk tetap ada?
Maka kemanakah kekecewaan, sakit hati, putus asa, kemarahan dan segala keangkuhan serta hasrat dan ambisi kita? Kemanakah perginya rasa duka maupun suka yang telah kita alami? Kemanakah tenggelamnya segala kenangan indah dan buruk yang telah kita alami? Kemanakah mereka? Suatu saat nanti kita semua akan berlalu dan itu sudah menjadi suatu kepastian. Mengapa kita takut untuk hidup saat ini? Mengapa kita khawatir menghadapi hidup kita sekarang? Masa depan yang tidak pasti membayang di depan? Baik atau buruk, kita toh takkan mampu untuk memastikannya sekarang. Baik dan buruk, siapa yang bisa mengukurnya? Hanya waktu. Ya, hanya waktu saja. Bertahanlah. Jalanilah hidupmu. Susurilah jalan setapak yang penuh onak duri ini. Dan tersenyumlah selalu. Tersenyumlah selalu.....
A. Tonny Sutedja
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar